Qanun Jinayat Tidak Sah: Gubernur
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menolak menandatangani Qanun Hukum Jinayat yang telah disahkan DPR Aceh pada 14 September lalu. Gubernur berlasan bahwa qanun yang diajukan kepada dirinya untuk ditandatangani masih bersifat draf.
Usai pelantikan 69 anggota parlemen Aceh hasil pemilihan April lalu, Gubernur Irwandi menyebutkan bahwa Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat belum sah, karena belum ada persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif.
“Jadi kedua qanun itu statusnya sekarang masih rancangan Qanun. (Mereka/DPRA) mensahkan yang tidak sah. Mensahkan, tapi tidak saya (teken),” kata Irwandi kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (30/9).
Irwandi merujuk pada Pasal 23 ayat (1) huruf (a) Undang Undang No 11/2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal itu disebutkan bahwa qanun disahkan setelah mendapat persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif.
Qanun Hukum Jinayat menuai kontroversi karena memuat sanksi rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Dalam draf yang diajukan pemerintah, sanksi bagi pelaku zina hanya dihukum cambuk dan denda.
Irwandi bersikukuh tidak mau menandatangani Qanun Jinayat, kendati DPRA periode 2004-2009 telah mengetok palu pada 14 September lalu. “Yang mengatakan sudah sah atau tidak sah itu ada Undang Undangnya. Kita sudah membuat surat (kepada DPRA) bahwa qanun itu (belum sah) dan meminta DPRA untuk membahas kembali dan mendapat persetujuan bersama,” kata Irwandi.
Namun Irwandi menolak mengomentari soal hukuman rajam. “Saya tidak boleh memberikan pendapat pribadi. Itu terserah kepada tim pemerintah Aceh dan DPR. Saya tidak punya rencana menghapus atau menambah. Silakan mereka membahas secara demokrasi. Saya tidak mau menjawab soal itu (rajam), karena itu terserah kepada DPRA dan Pemerintah Aceh, secara tim,” kata dia.
Gubernur meminta para pembuat hukum agar mempelajari kembali hukum Islam yang tertuang dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi (hukum perundang-undangan yang diberlakukan pada masa Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda).
“Di situ sudah terangkum semuanya, sudah sangat lengkap dan dibuat oleh para ulama tempo dulu. Itu dibuat oleh ulama-ulama besar dan bisa dijadikan perbandingan,” kata dia. []
Usai pelantikan 69 anggota parlemen Aceh hasil pemilihan April lalu, Gubernur Irwandi menyebutkan bahwa Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat belum sah, karena belum ada persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif.
“Jadi kedua qanun itu statusnya sekarang masih rancangan Qanun. (Mereka/DPRA) mensahkan yang tidak sah. Mensahkan, tapi tidak saya (teken),” kata Irwandi kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (30/9).
Irwandi merujuk pada Pasal 23 ayat (1) huruf (a) Undang Undang No 11/2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal itu disebutkan bahwa qanun disahkan setelah mendapat persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif.
Qanun Hukum Jinayat menuai kontroversi karena memuat sanksi rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Dalam draf yang diajukan pemerintah, sanksi bagi pelaku zina hanya dihukum cambuk dan denda.
Irwandi bersikukuh tidak mau menandatangani Qanun Jinayat, kendati DPRA periode 2004-2009 telah mengetok palu pada 14 September lalu. “Yang mengatakan sudah sah atau tidak sah itu ada Undang Undangnya. Kita sudah membuat surat (kepada DPRA) bahwa qanun itu (belum sah) dan meminta DPRA untuk membahas kembali dan mendapat persetujuan bersama,” kata Irwandi.
Namun Irwandi menolak mengomentari soal hukuman rajam. “Saya tidak boleh memberikan pendapat pribadi. Itu terserah kepada tim pemerintah Aceh dan DPR. Saya tidak punya rencana menghapus atau menambah. Silakan mereka membahas secara demokrasi. Saya tidak mau menjawab soal itu (rajam), karena itu terserah kepada DPRA dan Pemerintah Aceh, secara tim,” kata dia.
Gubernur meminta para pembuat hukum agar mempelajari kembali hukum Islam yang tertuang dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi (hukum perundang-undangan yang diberlakukan pada masa Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda).
“Di situ sudah terangkum semuanya, sudah sangat lengkap dan dibuat oleh para ulama tempo dulu. Itu dibuat oleh ulama-ulama besar dan bisa dijadikan perbandingan,” kata dia. []
0 ulasan:
Catat Ulasan